Dulu, buku bukan sekadar tumpukan kertas yang bisa dibolak-balik sesuka hati. Dan buku bukan sekedar ditata rapi dan dipajang indah, sebagai perhiasan di ruang tamu. Ia adalah perbendaharaan ilmu, pelita yang menerangi kegelapan zaman. Saking berharganya, para ulama, ilmuan dan pemilik perpustakaan meletakkan kitab-kitab mereka di tempat khusus, bahkan mengikatnya dengan rantai besi takut dicuri.
الكتب عند الغربيين كانت تربط بسلاسل مع الخزانة خوف سرقتها
Di perpustakaan-perpustakaan Islam kuno, atau bahkan di Eropa abad pertengahan, pemandangan itu lazim: deretan kitab berjajar di rak, tetapi tidak bebas disentuh. Setiap buku terikat pada rantai panjang yang membatasi geraknya, seakan-akan ingin berpesan, “Ambillah aku untuk belajar, tetapi jangan pernah bawa aku pergi. Aku milik semua pencari ilmu, bukan hanya satu orang.”
Bayangkan, betapa mulianya pandangan terhadap buku kala itu. Mereka dianggap pusaka, dijaga dengan penuh wibawa, dan diperlakukan seakan-akan lebih berharga daripada emas. Sebab emas hanya memperkaya dunia, tetapi ilmu memperkaya jiwa.
Tradisi pengikatan dengan rantai ini lahir bukan karena ketidakpercayaan kepada manusia, melainkan karena keyakinan bahwa buku terlalu agung untuk hilang sia-sia. Maka, rantai itu bukan sekadar besi, tetapi simbol cinta dan takut: cinta kepada ilmu agar tetap lestari, dan takut bila ia hilang, maka lenyaplah cahaya bagi generasi.
Hari ini, kita mungkin tidak lagi menemukan buku terikat rantai di rak-rak perpustakaan. Tapi “rantai” itu tetap ada ia adalah tanggung jawab moral kita menjaga, menghormati, dan merawat buku, agar ilmu di dalamnya terus bersemi, tidak dicuri oleh kelalaian dan tidak hilang ditelan zaman.
Kira-kira yang dirantai hari ini apa? 😁🤩
Tidak ada komentar:
Posting Komentar