Minggu, 28 September 2025

Ketika Buku Enggan Dipinjamkan: Syair-Syair Pedih Para Pecinta Kitab


Halimi Zuhdy

Urusan pinjam meminjam memang tidak mudah, "sering keselnya dari bahagianya pak". Kata mas Qadir. "Apalagi barang yang dipinjam tidak dijaga dengan baik, bahkan kembali dalam keadaan rusak". Sambungnya, sambil tertawa Wkwkw. "Gak juga mas, wong banyak yang mencari calon peminjam, meminjam uang" sangkal Dedi, juga ketawa.wkwkwkw. 
Ada satu kisah klasik dalam dunia literasi Islam yang sering kita jumpai di pinggir manuskrip kuno. Ia bukan sekadar catatan, melainkan jeritan hati para pecinta buku. Mereka begitu mencintai kitab-kitabnya hingga keberatan bila ada yang datang untuk meminjam. Maka lahirlah syair-syair, doa-doa, bahkan sumpah yang dituangkan dalam baris-baris indah, tetapi getir.

Beberapa dialog menggunakan puisi atau syair tentang kegetiran dalam peminjaman buku, penulis kutip dari tulisan Dr. Muhammad Nuri  al Mausawi dalam "Tahqiq al-Makhtut", yang beliau kutip dari sebuah manuskrip "at-Ta‘rīfāt" karya al-Jurjānī (w. 816 H), tersimpan syair bernada getir ini:

أَلا يا مُستعيرَ الكتْبِ دعْني
 فإنّ إعارتي للكتْب عارُ
ومعشوقي من الدنيا كتابٌ
 فهل أبصرتَ معشوقاً يعارُ؟

Wahai pencari pinjaman buku, tinggalkanlah aku
Meminjamkan buku bagiku adalah aib
Kekasihku di dunia ini hanyalah buku
Pernahkah engkau melihat ada kekasih yang dipinjamkan?

Namun, ada juga yang menjawab dengan nada seimbang, mengingatkan bahwa kikir terhadap ilmu pun tercela:

فَلا تمنعْ كتابًا مستعيرًا
 فإنّ البخلَ للإنسانِ عارُ
أَمَا تسمعْ حديثًا من رُواةٍ
 جزاءُ البخلِ عند اللهِ نارُ

Janganlah engkau menolak peminjam kitab,
karena kikir adalah aib manusia.
Tidakkah engkau mendengar dari para perawi,
bahwa balasan bakhil di sisi Allah adalah api neraka?

Ada pula bait yang lebih keras, ditemukan dalam syair lain, hingga mengandung sumpah:

مَن استعارَ كتابي ثمّ أفسدَهُ
اللهُ عذّبَه في النّارِ ألوانا
إنّي حلفتُ يمينًا غيرَ كاذبةٍ
أنْ لَا أُعيرَ كتابي قطُّ إنسانا

Barangsiapa meminjam bukuku lalu merusaknya,
maka Allah akan menyiksanya dengan api neraka berlapis.
Aku telah bersumpah dengan sumpah yang tidak dusta,
bahwa aku takkan pernah meminjamkan bukuku kepada siapa pun.

Bahkan, al-Ṣafadī meriwayatkan tentang Abū ʿAbdillāh al-Bustī (w. 491 H) yang terkenal begitu ketat menjaga koleksi kitabnya. Ia menulis sumpah tegas di halaman bukunya:

إِنِّي حَلَفت يَمِينا غير كَاذِبَة
أَن لَا أعير كتابي الدَّهْر إنْسَانا
إلَّا برهن وإيمان مغلطة
 كَيْلا يضيع كتابي أَيْنَمَا كَانَا

Aku bersumpah dengan sumpah yang benar,
tidak akan kupinjamkan bukuku sepanjang hidup kepada siapa pun.
Kecuali dengan jaminan kuat dan sumpah yang mengikat,
agar bukuku tidak hilang di mana pun ia berada

Syair-syair di atas bukan sekadar keluhan pribadi, melainkan cermin betapa besar cinta para ulama terhadap ilmu. Mereka melihat buku bukan sekadar benda, melainkan ma‘shūq kekasih sejati. Maka wajar bila mereka merasa kehilangan besar saat bukunya dipinjam lalu tak kembali.

Mungkin di zaman digital, kita tak lagi khawatir buku hilang, karena salinan mudah diperoleh. Tapi pesan klasik para pecinta buku tetap relevan: cintailah ilmu sebagaimana para ulama mencintai kitab-kitab mereka, dengan penuh penjagaan, penghormatan, dan amanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar