Halimi Zuhdy
Setiap kata dalam suatu bahasa memiliki latar cerita, kisah, dan sebab kemunculannya. Ia tidak muncul begitu saja tanpa makna. Bahkan, pemilihan huruf dalam setiap kata pun punya makna tersendiri. Maka, rangkaian huruf yang membentuk kata menyimpan jejak sejarah dan kisah maknawi yang tak sederhana.
Meski begitu, ada pula kata-kata yang sulit dilacak asal-usulnya (ghumūd), karena telah banyak dilupakan (sebagaimana disebut dalam Al-Muẓhir fī ‘Ulūm al-Lughah karya As-Suyūṭī). Misalnya, kata insān (manusia) yang diyakini berasal dari nasiya (lupa), karena manusia memang makhluk yang kerap lupa. Atau kata bahīmah (hewan), berasal dari “abhamat ‘an al-‘aql” — artinya tertutup akalnya, tidak berakal. Begitu pula kata Kūfah konon dinamai karena sesaknya manusia: “takuffu ar-raml takāuffan.” Masih banyak contoh lain.
Sebelumnya, saya pernah menulis tentang asal kata mar’ah (perempuan) dalam bahasa Arab mengapa perempuan disebut dengan mar’ah? (Tulisan lengkapnya bisa dibaca di situs pribadi saya).
Kini, saya ingin menelaah satu kata sederhana, tapi menarik: rajul (laki-laki). Pertanyaannya: mengapa laki-laki disebut rajul? Mengapa bukan kata lain?
Pertanyaan ini muncul dari banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa kata rajul berasal dari rijl (kaki). Ada pula yang mengatakan bahwa bentuk jamaknya, rijāl (laki-laki), dipakai untuk menunjuk mereka yang melakukan kebaikan-kebaikan. Ada pendapat bahwa rajul berasal dari kata rijlun karena tugas utama laki-laki sejak dulu adalah berjalan, bekerja, dan mencari nafkah — berbeda dengan perempuan yang lebih banyak berada di rumah mengurus keluarga. Hingga hari ini pun, peran dasar itu masih relevan: laki-laki banyak bergerak di luar rumah untuk menafkahi keluarganya.
Mari kita lihat lebih dekat kata rajul (الرَّجُل) dan akar katanya yang terdiri dari huruf rā’, jīm, dan lām dalam sejumlah kamus bahasa Arab klasik. Dalam Lisān al-‘Arab (jilid 11, hlm. 265) disebutkan bahwa rajul berarti “jenis laki-laki dari manusia, lawan dari perempuan.” Dalam Tahdzīb al-Lughah, dijelaskan bahwa rajul adalah tingkatan setelah ghulām (anak lelaki). Sedangkan dalam Kamus Ma’ānī, rajul merujuk pada laki-laki yang sudah baligh (dewasa). Bentuk jamaknya adalah rijāl (الرِجال) atau rajlah.
Sementara itu, kata rājilun (رَاجِلٌ) berarti “orang yang berjalan dengan kedua kakinya”. Begitu juga ar-rajlu dan rajjal (رَجَّلَ) yang bisa berarti menyisir, menghias, menguatkan (سَرَّح، زَيَّن، قَوَّى). Sedangkan yang benar-benar bermakna "kaki" adalah ar-rijl (الرِجْل) — bagian tubuh dari pangkal paha hingga telapak kaki.
Derivasi dari akar huruf rā’, jīm, dan lām sangat banyak, bahkan mencapai ratusan bentuk, dan tercantum dalam banyak kamus seperti Al-Muḥīṭ, Al-Ma’āṣir, Al-Wasīṭ, Ar-Rā’id, Al-Ghanī, dan Shams al-‘Ulūm. Namun, kita tidak akan membahas satu per satu karena keterbatasan ruang.
Kembali ke kata rajul, dalam Lisān al-‘Arab, ia juga diartikan dengan istilah tarajjul, yakni:
"الترجل أي مشي الشخص على قدميه دونما استعانة بآلة ما، الدابة أو السيارة أو غير ذلك"
Tarajjul adalah berjalan dengan kedua kaki tanpa alat bantu, baik hewan tunggangan, mobil, maupun lainnya.
Dari sini, muncul makna yang lebih dalam: rajul adalah seseorang yang percaya diri (i‘timād an-nafs) untuk meraih cita-cita. Laki-laki disebut rajul karena ia berdiri di atas kakinya sendiri mandiri, kuat, dan teguh dalam pijakannya. (Ya, bahkan meski kadang hidup cuma bisa ditertawakan: wkwkwk 😄).
Kata ini kemudian terkait dengan istilah ar-rujūlah atau ar-rujūliyyah, yang bermakna keberanian (syajā‘ah), kelaki-lakian, kekuatan (al-quwwah), kedewasaan, kejantanan, maskulinitas, percaya diri, hingga kecemerlangan berpikir (wuḍūḥ al-fikr). Bahkan, dalam tradisi klasik, kata rujūlah tak melulu disematkan pada laki-laki. Sayyidah ‘Āisyah pernah dijuluki rajulah ar-ra’yi maksudnya: beliau memiliki kekuatan dan kecemerlangan dalam berpikir.
Dalam makalah berjudul "Yā Lahū Min Dīn Law Kāna Lahu Rijāl" karya ‘Abdurraḥmān, dijelaskan bahwa ulama berbeda pendapat tentang makna rujūlah. Ada yang mengartikannya sebagai kekuatan dan keberanian, ada pula yang memaknainya sebagai kepemimpinan, ketegasan, kemurahan hati, atau kemampuan mengelola harta. Ada juga yang menyamakannya dengan semangat juang, bahkan sikap membela kepentingan orang lain dengan segala cara.
Jadi, kata rajul saat berubah bentuk menjadi rijāl (jamak), juga mengalami perluasan makna. Ia bisa bermakna kepahlawanan, ketegasan, ketangkasan, dan kekuatan meski tentu tidak semua laki-laki memilikinya. Pada dasarnya, rijāl adalah bentuk jamak dari rajul, tetapi konteks penggunaannya bisa memperkaya maknanya.
Ada pepatah Arab yang menarik: "Kullu rajulin dzakarun, wa laysa kullu dzakarin rajulun" Setiap laki-laki (rajul) adalah jantan (dzakar), tetapi tidak semua yang jantan itu adalah laki-laki sejati.
Maksudnya, tidak semua laki-laki (secara biologis) memiliki sifat kelaki-lakian sejati. Bahkan, dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti dalam Surat Al-A‘rāf (81), An-Naml (55), dan Al-‘Ankabūt (29), disebutkan kata rijāl yang memiliki sifat tercela. Namun mayoritas ulama menafsirkan bahwa dalam banyak konteks, kata rijāl tetap merujuk pada karakter positif, sebagaimana juga kata rujūlah.
Akhirnya, tanpa mengurangi keistimewaan perempuan yang memiliki kelebihan tersendiri, kata rajul dipilih untuk menggambarkan laki-laki karena sejumlah keutamaan tersebut. Maka, ketika Al-Qur’an menyebut:
"Ar-rijāl qawwāmūna ‘ala an-nisā’"
(Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan),
itu bukan bentuk diskriminasi, tapi penegasan tentang peran yang saling melengkapi dalam kehidupan.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
***
Foto diambil dari Alfurqon. Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar